PRIBADI PRUDENTIAL INDONESIA

30 April 2008

Pengakuan Geisha Modern: Sejarah Berubah

Filed under: Pernak Pernik — thedi76 @ 9:53 am

geishaDELAPAN tahun lalu, Komomo masih gadis remaja Jepang yang tinggal di Beijing. Seperti gadis lain seusianya, Komomo suka naik sepeda keliling kota dan main biliar setiap akhir pekan bersama kawan-kawanya.

Sekarang ia menjadi geisha di Kyoto, ibu kota Jepang kuno. Ia menjadi anggota komunitas profesi kuno yang mulai pudar, profesi perempuan penghibur yang mengandalkan kecantikan dan keterampilan memainkan tarian dan musik tradisional serta percakapan yang mengundang penasaran tamu.

Namun, persentuhan Komomo dengan dunia geisha tidak seperti cara masa lalu, yang membutuhkan koneksi kuat bagi seorang gadis untuk bergabung. Gadis yang sekarang menginjak 23 tahun itu memenuhi ‘panggilannya’  melalui e-mail.

Komomo yang berarti Si Persik Kecil tidak secuil pun tahu tentang dunia geisha yang tertutup dan menyendiri sampai ia menemukan situs http://www.e-koito.com yang dijalankan Koito. Koito adalah seorang geisha di Kyoto yang mempunyai sebuah okiya atau rumah geisha.

“Saya ingin tahu lebih banyak soal negara saya dan itu sebabnya saya memilih dunia ini,” kata Komomo, beberapa waktu lalu.

Saat itu Komomo mengenakan kimono hitam lengkap dengan aksesori, seperti selendang yang membelit perut dengan ikatan khas di punggung. Masih ada lagi, make up putih pucat dengan secuil aksen merah di bagian mata. Pokoknya sama dengan gambaran geisha yang kita kenal lewat berbagai media. “Saya ingin menjadikan sejarah dan tradisi Jepang sebagai bagian hidup saya. Bukan mengenakan kimono hanya pada saat-saat tertentu, tetapi pada kehidupan sehari-hari seperti masa lalu,” katanya.

Keinginan itu sepertinya tidak akan terwujud sebelum ia membuka situs Koito, yang pertama kali ditulis oleh geisa yang masih aktif. “Saya sangat senang dan kirim e-mail pada Koito-san saat itu juga, menyampaikan mimpi saya menjadi maiko, geisha magang, tetapi saya tidak tahu bagaimana memulainya,” tuturnya.

Koito tidak langsung menerima Komomo bergabung di okiya-nya. Tetapi, korespondensi mereka tidak putus selama tiga tahun kemudian, sampai Komomo lulus sekolah menengah pertama. Tanpa menggubris larangan orangtua yang menginginkannya masuk universitas lalu menikah, gadis 15 tahun itu memantapkan langkahnya keluar dari rumah. Tujuannya cuma satu, okiya Koito di Kyoto.

“Saya pikir dia tidak akan tahan. Tetapi keinginannya kuat, lagi pula dunia geisha mengharuskanmu ‘hilang’,” kata Kimiko Nasu, ibu Komomo yang saat itu sedang mengunjungi anak satu-satunya itu.

Komomo kini tinggal di okiya Koito yang telah menantinya. Rumah itu terletak di Miyagawa-cho, sebuah kawasan di pusat kota Kyoto dengan gang-gang sempit berbatu dan rumah-rumah kayu berdiri di kiri-kanannya.

Minggu pertama dia habiskan untuk belajar membungkuk, yaitu cara paling sopan untuk menyapa tamu. Ia juga belajar mengenakan kimono dan bicara dengan dialek Kyoto yang lemah lembut. “Tahun pertama, setiap hari rasanya saya selalu dimarahi. Itulah pekerjaan saya, untuk dimarahi,” kata gadis bertinggi badan 150 cm itu.

“Pada pertemuan malam, tidak boleh ada kesalahan dan ini bukan sesuatu yang bisa dipelajari dalam sekejap. Semua harus dimengerti betul, sebagai bagian hidup sehari-hari, sehingga tidak melakukan sesuatu yang memalukan di depan tamu,” tuturnya tentang pelajaran-pelajaran awal di rumah itu.

Pada hari-hari yang ditentukan, dimulai dengan pelajaran menari, menyanyi, upacara minum teh, dan musik. Lalu dilanjutkan dengan pesta, pekerjaan geisha yang sesungguhnya, dari pukul enam sore hingga tengah malam. Tak mengherankan kalau pada hari liburnya yang sehari dalam dua atau tiga bulan Komomo rindu kembali pada kehidupan remaja ‘normal’ lainnya, misalnya nonton film di bioskop.

Namun, sejujurnya, ia hanya sempat sejenak berpikir untuk mundur dalam dua minggu pertama tinggal di okiya. Saat itu seorang gadis tidak tahan dan memutuskan pergi. “Saya lalu sadar bagaimana perasaan saya sebenarnya. Saya pikir begitu saya putuskan untuk menjalani ini, saya juga harus mencoba dengan sangat keras,” katanya.

Mengenakan kimono maiko berlengan panjang yang dipadu dengan lilitan selendang lebar, lalu belajar bergerak tanpa menyenggol orang atau benda lain, terutama saat menari, sangat sulit. Komomo kerap lupa aturan dan tak jarang pula hiasan rambutnya lepas saat menari.

“Di okiya ini kami tidak boleh terlalu banyak menangis. Tapi, waktu saya tinggal di China juga berat pada awalnya,” tambahnya.

Pengalaman hidup di beberapa negara membuat Komomo lebih gampang akrab dengan tamu. Ia lahir di Meksiko dan menghabiskan waktu beberapa tahun di Jepang sebelum pindah ke China. Namun, tetap saja ada persoalan. “Mulanya saya agak bingung dengan kehidupan biasa di Jepang dan waktu itu saya agak menjengkelkan. Di sini, kata mereka, paling baik berlagak tidak tahu apa-apa, tetapi sesungguhnya kita pintar,” katanya.

“Sering saya merasa paling diperhatikan, tetapi akhirnya ada yang membuat saya merendah,” katanya mengenang masa lima tahun ia menjadi seorang maiko.

“Sebenarnya sangat melegakan begitu akhirnya saya menjadi seorang geisha karena tidak perlu lagi dipaksa ‘on’ selama 24 jam,” kenangnya.

Komomo menolak bercerita tentang apa saja yang dia dapatkan begitu menjadi geisha. Namun, menurut orang-orang di sekitar gedung teater tempat pada geisha itu biasa menari, Komomo sangat terkenal.

Kalau popularitas itu berbanding lurus denga perolehan uang, rasanya juga masuk akal. Karena saat ini Komomo sudah punya rumah sendiri dan ruang utamanya dihiasi televisi layar datar besar. Sebagai geisha masa kini, Komomo juga melengkapi rumah itu dengan komputer Macintosh model terkini.

“Ketika baru mulai, saya diberitahu bahwa wajah saya tidak cantik, jadi saya harus tetap tersenyum. Kecantikan memang mempermudah pekerjaan, tetapi saya tidak boleh terlalu mengandalkan itu,” tuturnya.

Masih ada satu hal yang mengusik pikiran Komomo, yakni masa depan. Ya, tidak ada dana pensiun untuk geisha dan mereka pun dilarang menikah. Meski di masa lalu, ada sebagian geisha yang menjadi istri simpanan dan sebagian lagi hidup sendiri.

Meski nanti ingin punya anak, Komomo masih dua tahun menjalani kehidupan sebagai geisha dan belum berpikir apa pun tentang masa depan. “Bahkan saya belum punya pacar. Saya terlalu sibuk untuk kencan dan tamu-tamu di pesta-pesta itu seumur ayah saya,” katanya mengeluh karena tidak adanya pilihan terhadap laki-laki yang pantas menjadi kekasihnya.

Dunia geisha saat ini tidak mudah dijalani dan pelan-pelan mulai memudar di negeri yang katanya sangat berpegang teguh pada tradisi. Ini menjadi keprihatinan tersendiri. Geisha mencapai puncaknya tahun 1928 dengan jumlah 80.000 orang. Tetapi sekarang jumlahnya tak lebih dari 1.000 orang. Satu dari enam distrik geisha di Kyoto sudah gulung tikar karena semakin tidak laku.

Keterpurukan ekonomi pada era 1990-an mau tidak mau berpengaruh pada anggaran untuk bersenang-senang, khususnya bagi kalangan eksekutif swasta yang selama ini dikenal sebagai pelanggan utama bisnis geisha ini. Para politisi kini sudah banyak yang tidak berani lagi ‘jajan’ karena banyak skandal terungkap dan membuat mereka terpuruk.

Pesta dengan geisha memang mahal. Satu kali jamuan makan yang menghadirkan seorang geisha membutuhkan setidaknya 80.000 yen atau sekitar Rp 7,2 juta per orang, tergantung dari tempat dan jumlah geisha yang didatangkan.

Hal lain yang mengancam kelangsungan dunia geisha adalah kecenderungan pria mencari hiburan di karaoke atau bar yang lebih informal tetapi masih bisa berlengket-lengket dengan pramuria.

Banyak orang, termasuk Komomo, mengatakan bahwa dunia geisha harus lebih terbuka dan menurutnya internet adalah pengantar paling ideal. “Di masa lalu, orang hanya bisa tahu geisha kalau ada yang mengenalkan, tetapi sekarang semua orang tergantung pada internet untuk mendapatkan informasi,” kata Kyoko Aihara, penulis yang juga pakar geisha.

“Miyagawa-cho sudah memperkenalkan diri lewat internet. Mereka lebih fleksibel dibandingkan kampung geisha lain, mereka ingin orang bersenang-senang. Dan itu berhasil,” lanjut Kyoko.

Agar orang-orang yang masih asing dengan geisha gampang masuk ke dunia itu, Koito, pelatih Komomo, membuka sebuah bar elegan di lantai pertama okiya-nya. Di tempat itu, para tamu bisa bertemu dengan geisha yang tarifnya lebih mahal.

“Sejarah berubah, jadi kalau Anda menawarkan yang itu-itu saja percuma. Pelayanan harus menyesuaikan dengan zaman, kata Koito. Bagi Koito, lingkungan geisha harus tetap bisa memenuhi apa yang diperlukan dunia. “Kalau kami sudah tidak diperlukan lagi, tak ada lain yang bisa dilakukan kecuali menghilang,” kata geisha senior ini.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.